Kamis, 02 Desember 2010

DENYUT DAKWAH DI DESA KRISTEN

Pemerintah kolonial Belanda membabat hutan di Desa Peniwen untuk pemukiman. Lalu, menjadikannya Desa Kristen. Kini, dakwah Islam berdenyut di desa yang terletak di lereng gunung Kawi tersebut.

Tak cukup sulit untuk mencapai Desa Peniwen yang terletak di Kecamatan Kromengan, Malang, Jawa Timur. Angkutan umum menuju daerah di lereng Gunung Kawi ini sudah tersedia, meski jumlahnya masih jarang. Hanya saja jembatan menuju desa itu masih rusak. Karena itu, kendaraan roda empat untuk sementara tak bisa menembus daerah subur yang memiliki lahan sawah sekitar 233 hektar ini.

Menurut Majalah berbahasa Jawa Jaya Baya, Peniwen termasuk 41 desa dan dusun Kristen di Indonesia. Secara de jure, istilah Desa Kristen memang tak ada. Di Jawa Timur, istilah Desa Kristen digunakan untuk menyebut desa, dusun atau dukuh yang semua warganya menganut agama Kristen Jawa. Sekarang, biasa disebut dengan Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW). Dulunya, desa-desa itu, termasuk Peniwen, berupa hutan yang dianggap angker, lalu dibabat oleh orang-orang Kristen atas perintah pemerintah Hindia Belanda.

Seiring perkembangan zaman, warga desa-desa itu sekarang tak semuanya memeluk Kristen. Namun jumlahnya masih mendominasi. Menurut Ustadz Muhammad Syukri, pengurus Panti Asuhan Dar ar-Rahman lil Aitam Peniwen, umat Nasrani di desa itu masih mencapai 99 persen. “Makanya bulan Ramadhan di sini sama saja dengan bulan lain,” ujarnya saat ditemui Sabili di penghujung Bulan Ramadhan, Selasa (9/10).

Bagi Syukri, Desa Peniwen terkesan memang di-setting sebagai Desa Kristen. “Kantor desa dan gereja berada dalam satu komplek,” jelasnya. Kondisi ini mirip dengan Desa Kristen paling tua di Jawa Timur, Ngoro dan Mojowarno yang terletak di Kabupaten Jombang. Mojowarno sendiri bahkan memiliki rumah sakit, sekolah TK sampai dengan SMA serta gereja antik.

Dari Mojowarno inilah, menurut buku Benih yang Tumbuh VII terbitan GKJW dan Lembaga Penelitian dan Studi Dewan Gereja-gereja di Indonesia, orang Kristen Jawa yang ingin “suket luwih ijo” (hidup lebih enak dan mandiri, red) membuka hutan hampir di seluruh wilayah Jawa Timur. Di antaranya di kaki Gunung Kawi sebelah Selatan yang lalu menjadi Desa Peniwen tersebut.

Memasuki Desa Peniwen, nuansa berbeda akan segera terasa. Di jalanan desa, akan biasa ditemui anjing-anjing berkeliaran. Tampak pula plang di depan rumah yang menginformasikan si empunya rumah menyediakan jualan daging dan masakan babi. Di depan rumah-rumah penduduk biasanya dihiasi dengan Salib. Karenanya, keberadaan Panti Asuhan Dar ar-Rahman lil Aitam ibarat ‘makhluk asing’ di Peniwen. “Banyak orang yang datang dari luar daerah merasa heran, di tengah komunitas Kristen kok ada Panti Asuhan Islam,” jelas Syukri yang berasal dari Blitar dan menjadi pengajar di panti itu sejak 1996.

Kisah pendirian Panti Asuhan yang saat ini menampung 20 santri ini cukup unik. Syahdan, pada tahun 1993, pihak Kristen Pantekosta berencana membangun gereja di atas tanah seluas 500 M2 di Peniwen. Namun upaya itu dihadang oleh pihak GKJW. Pasalnya, bagi GKJW, jumlah pengikut sekte Pantekosta di Peniwen sedikit. Akhirnya, meski sudah memiliki pondasi, pembangunan Gereja Pantekosta itu tak berlanjut. Tanah pun dijual dan dibeli oleh Yayasan Mujahidin pimpinan Bapak Andi yang berpusat di Malang. Pada tahun 1994 di atas tanah itu didirikan panti asuhan. Menyusul kemudian di tahun 1997, setelah ruangan panti selesai, dibangun Masjid ar-Rahman. Sampai saat ini, bekas pondasi gereja itu masih terlihat di halaman panti.

Tinggal dan berdakwah di desa yang penghuninya nyaris semuanya Kristen, membekaskan suka duka bagi Syukri, terutama pada era sebelum tahun 1998. Kala itu, ia tak pernah disapa oleh warga. Kalaupun dia memulai menyapa, tak bakal dihirau.

Dalam hubungan sehari-hari sedemikian “pahit”, apalagi dalam kerjaan dakwah. Menurut Syukri yang alumnus Pesantren Persis Bangil Pasuruan Jawa Timur ini, saat ia akan mengisi kajian di mushalla-mushalla di sekitar desa, kata-kata jorok dari pihak Kristen menjadi “hidangan” sehari-hari. “Bahkan kita pernah ditembak dengan senapan angin,” ujarnya.

Syukri mengenang, di tahun-tahun itu, jama’ah shalat Id hanya berjumlah sembilan orang. Sedang untuk shalat Jum’at hanya sekitar 20 orang. Itu pun berasal dari santri-santri panti. “Mungkin karena itu tidak banyak pengajar yang bertahan lama di sini,” jelasnya.

Suasana Idul Fitri yang “adem ayem” ini berbeda dengan suasana Natal di Gereja GKJW Peniwen yang biasanya sampai dijaga ketat aparat. Di Malang, ada enam gereja yang biasanya dijaga ketat menjelang perayaan Natal hingga Tahun Baru selesai. Yaitu Pertapaan Karmel di Poncokusumo, Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) Suwaru di Gondanglegi, GKJW Pujiharjo di Tirtoyudo, GKJW Sitiarjo di Sumbermanjing Wetan, Gereja Katolik Purworejo di Donomulyo dan GKJW Peniwen di Kromengan. Penjagaan berlapis itu -ada tiga lapis penjagaan- melibatkan pemuda gereja dan pendeta. Juga petugas berbaju preman yang berjaga-jaga, dilengkapi dengan alat deteksi logam. Keenam gereja itu dipantau dan dijaga karena di daerah itu masyarakatnya mayoritas beragama Nasrani.

Kembali ke Peniwen. Meski menurut Majalah Jaya Baya desa-desa Kristen itu telah menjadi “Desa Pancasila” (untuk menggambarkan bahwa warganya sudah campuran berkat perkembangan zaman, red), namun diskriminasi dari pamong desa bukannya tak ada. Menurut Syukri, bila ada hajatan pernikahan di Peniwen, harus dengan tata cara Nasrani. “Kalau mau menikah secara Islam, harus keluar dari Peniwen,” ujarnya. Di desa itu, saksi Syukri, mulai RT hingga Kepala Desa, semuanya dijabat orang Kristen.

Seingat pria yang aktif di DDII (Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia) Jawa Timur ini, sejak ia tinggal di Peniwen, hanya ada satu pernikahan di tahun 1998 yang menggunakan tata cara Islam. “Saya nggak nyangka juga. Yang laki-laki dari Madura, sedang yang mempelai perempuan dari Peniwen sini. Saya sampai tanya pada pengantinnya, karena biasanya sulit menikah dengan cara Islam. Mereka menjawab, dibolehkan karena mereka meminta, sebab dua hari setelah nikah, yang perempuan diboyong ke Madura,” beber Syukri.

Tak hanya urusan perkawinan, sebelum tahun 1998, pembuatan KTP warga Muslim sangat sulit. Walaupun seorang penduduk beragama Islam, di KTP-nya harus tertulis beragama Kristen. “Tapi sejak tahun 2000-an, Muslim sudah bisa memiliki KTP ‘yang juga Islam’,” terang Syukri.

Sayang, saat Sabili berusaha mengonfirmasi, kantor Kepala Desa yang berada dalam satu komplek dengan Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) Peniwen itu sudah libur.